LINGKARWILIS.COM – Kapten CZI Anumerta Pierre Andreas Tendean atau lebih dikenal dengan Pierre Tendean adalah pahlawan muda yang menjadi salah satu korban dalam peristiwa kelam G30S PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia).
Sebagai pahlawan revolusi termuda, Pierre Tendean tidak hanya dikenal karena keberaniannya, tetapi juga dedikasinya yang luar biasa sebagai perwira militer.
Meskipun hidupnya berakhir tragis pada usia muda, Pierre Tendean meninggalkan jejak kepahlawanan yang abadi.
Kisah hidup Pierre Tendean yang penuh pengorbanan dan semangat patriotisme menjadi inspirasi bagi generasi penerus bangsa.
Pierre memulai karir militernya sebagai intelijen lalu diangkat menjadi ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution dengan pangkat letnan satu. Setelah kematiannya, ia dianugerahi pangkat kapten anumerta.
Tendean dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, bersama enam perwira lainnya yang gugur dalam peristiwa G30S, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi pada 5 Oktober 1965.
Lahir pada 21 Februari 1939 di Batavia (sekarang Jakarta), Hindia Belanda, Tendean adalah putra dari Dr. A.L Tendean seorang dokter berdarah Minahasa, dan Cornet M.E wanita Indo berdarah Prancis.
Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara, dengan kakak bernama Mitze Farre dan adik Rooswidiati.
Tendean menempuh sekolah dasar di Magelang dan melanjutkan pendidikan SMP dan SMA di Semarang tempat ayahnya bertugas.
Sejak kecil, ia bercita-cita menjadi tentara meski orang tuanya berharap ia menjadi dokter atau insinyur.
Namun, berkat tekadnya yang kuat, Tendean akhirnya diterima di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung pada 1958.
Pada 1962, Tendean lulus dari akademi dengan pangkat letnan dua dan menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan.
Setahun kemudian tepatnya di tahun 1963, ia mengikuti pendidikan intelijen di Bogor.
Setelah lulus, ia ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjalankan misi mata-mata ke Malaysia selama masa konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia.
Pada 15 April 1965, ia dipromosikan menjadi letnan satu dan ditugaskan sebagai ajudan dari Jenderal AH Nasution.
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September mendatangi rumah Nasution dengan niat menculiknya.
Tendean, yang sedang tidur di ruang belakang, terbangun karena suara tembakan dan segera menuju bagian depan rumah.
Ia ditangkap oleh pasukan G30S yang salah mengira dirinya sebagai Nasution karena suasana rumah yang gelap. Nasution sendiri berhasil melarikan diri.
Tendean kemudian dibawa ke Lubang Buaya bersama enam perwira lainnya, di mana ia ditembak mati dan jenazahnya dibuang ke sebuah sumur tua.
Tendean dimakamkan bersama perwira lainnya di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sebagai penghargaan atas jasanya, ia dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi Indonesia pada 5 Oktober 1965 melalui Keputusan Presiden RI No. 111/KOTI/Tahun 1965.
Untuk mengenang jasanya, beberapa jalan bahkan dinamai sesuai dengan namanya, termasuk di Manado, Balikpapan, dan Jakarta.
Setelah kematiannya, Pierre Tendean secara anumerta dipromosikan menjadi kapten. Kisah biografi tentang Kapten Pierre Tendean ini hingga saat ini masih selalu diingat dan dikenang oleh masyarakat Indonesia.
Penulis: Rafika Pungki Wilujeng
Editor: Shadinta Aulia Sanjaya