PONOROGO, LINGKARWILIS.COM – Di saat layanan kesehatan seringkali identik dengan biaya mahal dan administrasi yang rumit, seorang dokter muda di Ponorogo justru hadir membawa angin segar. Dialah dr Rafika Augustine, 34 tahun, yang menjalankan praktik mandiri di Jalan Letjen Sukowati, Desa Ngunut, Kecamatan Babadan, dengan konsep kemanusiaan yang tulus: tanpa tarif pasti.
Pasien yang datang ke tempat praktik dr Rafika tak diharuskan membayar dalam bentuk uang. Mereka diberi kebebasan untuk memberikan bayaran seikhlasnya, atau bahkan hanya dengan membawa hasil kebun, dan jika tak memiliki apa pun, cukup dengan doa.
“Tidak ada tarif tetap. Kalau bisa, silakan bayar seikhlasnya. Kalau tidak bisa membayar, saya terima dengan hasil bumi atau cukup dengan doa,” ujar dr Rafika saat ditemui, Senin (19/5/2025).
Baca juga : Penertiban PKL di Jalan Pattimura Kota Kediri Diwarnai Ketegangan, Pedagang Minta Solusi Nyata
Praktik yang baru berjalan sekitar satu bulan ini nyatanya sudah menarik minat banyak warga. Setiap hari, antrean pasien tampak memadati tempatnya. Jadwal praktik berlangsung dua kali sehari, Senin hingga Sabtu: pagi pukul 06.00–08.00 WIB dan sore pukul 16.00–20.00 WIB. Hari Minggu dan hari libur nasional, praktik tutup.
Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini menyadari bahwa pendekatannya bukan untuk mengejar keuntungan. Untungnya, ia dan suaminya memiliki usaha lain yang menopang kebutuhan operasional kliniknya, termasuk penyediaan obat-obatan.
“Memang bukan untuk mencari pemasukan utama. Kami punya usaha lain, jadi masih bisa mencukupi biaya praktik ini,” jelasnya.
Baca juga : Kepala Kemenag Kabupaten Kediri Takziah ke Rumah CJH yang Meninggal di Tanah Suci
Kebijakan tersebut disambut hangat oleh masyarakat. Banyak pasien merasa terbantu dengan sistem yang tidak membebani. Endang Widayanti, salah satu pasien, mengaku membayar layanan medis dengan panen dari kebunnya.
“Saya bawa terong dan kacang hasil panen. Dokternya sangat baik dan membantu kami yang tidak punya banyak uang,” kata Endang.
Senada dengan itu, Suci, warga lain yang datang dari desa sebelah, merasa bersyukur bisa mendapat pelayanan medis tanpa khawatir biaya. Ia membawa anaknya yang mengalami sakit perut, dan mendapat perawatan layaknya di klinik berbayar.
“Pelayanannya bagus, ramah, dan tidak membebani. Ini sangat membantu warga seperti saya,” ujar Suci.
Dengan pendekatan penuh empati ini, dr Rafika membuktikan bahwa nilai kemanusiaan masih menjadi inti dalam pelayanan kesehatan. Ia berharap keberadaannya bisa memberikan manfaat luas, terutama bagi warga yang membutuhkan akses pengobatan tanpa harus terbebani biaya tinggi.***
Reporter : Sony Prasetyo
Editor : Hadiyin