Putusan majelis hakim itu jauh lebih rendah dari tuntutan, yaitu tujuh tahun penjara dan denda Rp 60 juta subsider pidana kurungan dua bulan.
Ada beberapa pertimbangan sehingga vonis AS oknum guru SD cabul yang juga merangkap sebagai kepala sekolah itu lebih ringan. Di antaranya adalah prestasi yang pernah ditorehkan, sehingga manfaat yang dirasakan tidak hanya sekolah, namun juga masyarakat Trenggalek.
“Dia guru yang berprestasi. Kemudian berlaku sopan di pengadilan dan terdakwa belum pernah dihukum. Itu yang meringankan,” imbuhnya.
Sementara yang memberatkan, lanjut Abraham, adalah apa yang dilakukan AS dinilai mencoreng nama baik pemerintah. Selain itu yang membuat parah adalah tindakan AS merusak generasi penerus bangsa dan membuatnya trauma.
“Yang memberatkan meresahkan masyarakat, membuat citra buruk pemerintah dan tentunya membuat trauma pada saksi anak korban,” pungkasnya.
Sebelumnya, sebanyak lima anak dilaporkan menjadi korban pencabulan AS, oknum guru SD cabul di sekolah. Modusnya AS meminta bantuan kepada korban untuk menata buku di perpustakaan saat jam istirahat sekolah.
Namun saat itulah AS, oknum guru SD cabul melancarkan aksinya. Tabiat AS terbongkar setelah orang tua salah satu korban menyadari ada perubahan sikap pada anaknya. Kemudian kejadian itu dilaporkan ke polisi.
Akibat tindakan yang dilakukan AS, oknum guru SD cabul membuat lima korban tersebut mengalami perubahan mental.
Namun setelah didampingi tim dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kondisi psikologis anak tersebut cenderung membaik.
Mereka sudah kembali bersekolah dengan normal, namun tetap dalam pemantauan.***