Ritual Malam Satu Suro di Yogyakarta yang Selalu Dinantikan Masyarakat Setiap Tahun

Ritual Malam Satu Suro di Yogyakarta yang Selalu Dinantikan Masyarakat Setiap Tahun
salah satu ritual malam satu suro Yogyakarta (Instagram/ yudanyunarko.indonesia)

LINGKARWILIIS.COM – Malam satu Suro selalu menghadirkan nuansa magis dan sakral di Yogyakarta.

Setiap tahunnya, ribuan warga dan wisatawan di Yogyakarta tumpah ruah menyaksikan rangkaian tradisi malam satu Suro budaya yang kental akan nilai spiritual dan historis.

Peringatan malam satu Suro menandai pergantian tahun dalam penanggalan Jawa menjadi momentum penting yang dijaga dan diwariskan lintas generasi.

Berikut ini rangkaian ritual malam satu Suro yang selalu diselenggarakan setiap tahunnya oleh keraton Yogyakarta dan selalu dinantikan masyarakat sekitar.

Intip! Resep Bubur Suro Simple dan Nikmat, Hidangan Khas Tahun Baru Islam Masyarakat Jawa

5 Ritual Malam Satu Suro

1. Jamasan Pusaka: Pensucian Warisan Leluhur

Tradisi malam Suro dimulai dengan Jamasan Pusaka atau siraman pusaka.

Kegiatan ini rutin digelar oleh Keraton Yogyakarta sebagai bentuk pensucian benda-benda bersejarah seperti kereta, tosan aji (senjata), hingga gamelan.

Tak sekadar ritual, Jamasan Pusaka termasuk dalam warisan budaya tak benda yang menandai penghormatan terhadap leluhur dan usaha merawat peninggalan sejarah.

Upacara ini biasanya dilaksanakan pada Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon di bulan Suro diawali dengan jamasan pusaka Tumbak Kanjeng Kiai Ageng Plered, lalu dilanjutkan dengan pusaka lainnya.

2. Mubeng Beteng: Menyusuri Benteng dengan Langkah Hening

Puncak malam Suro ditandai dengan pelaksanaan Mubeng Beteng yakni kirab berjalan kaki mengelilingi beteng Keraton Yogyakarta sejauh 4 kilometer dengan arah berlawanan jarum jam.

Dalam prosesi ini, para abdi dalem dan masyarakat umum berjalan tanpa alas kaki dan tanpa suara sebagai bagian dari laku spiritual.

Sebelum kirab dimulai, pihak keraton menggelar doa akhir tahun, doa awal tahun, dan doa khusus bulan Suro serta memohon restu dari pemuka agama keraton.

Rute kirab dimulai dari Keben (Kamandengan Lor), melintasi Ngabean, Pojok Beteng Kulon, Plengkung Gading, Pojok Beteng Wetan, Jalan Ibu Ruswo, dan berakhir di Alun-Alun Utara.

3. Tapa Bisu: Laku Diam Penuh Makna

Tapa Bisu merupakan inti dari prosesi Mubeng Beteng. Dalam ritual ini, peserta dilarang berbicara maupun mengeluarkan suara sepanjang perjalanan.

Diam bukan hanya bentuk disiplin, tetapi simbol dari refleksi dan permohonan ampun kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tradisi ini biasanya diawali dengan tembang macapat yang berisi doa-doa dan harapan untuk tahun mendatang.

Tapa Bisu menjadi salah satu daya tarik utama bagi wisatawan karena keunikannya dan atmosfer spiritual yang mendalam.

4. Menyantap Bubur Suro Simbol Syukur dan Kehangatan

Usai prosesi spiritual, masyarakat dapat menikmati Bubur Suro di area sekitar keraton.

Bubur ini memiliki rasa gurih-manis dan dimasak dari beras dengan santan, jahe, serai, dan garam.

Keistimewaannya terletak pada taburan tujuh jenis kacang diantaranya kacang tanah, mede, kedelai, hijau, tholo, bogor, dan merah.

Angka tujuh melambangkan tujuh hari dalam sepekan, sebagai pengingat agar manusia selalu bersyukur setiap hari atas segala berkah yang telah diterima.

5. Lampah Ratri: Ritual Hening di Pakualaman

Tak hanya di Keraton, Kadipaten Pakualaman juga menggelar tradisi serupa bernama Lampah Ratri.

Prosesi ini dilakukan dengan mengelilingi Beteng Pakualaman sejauh 6 kilometer, dimulai dari Puro Pakualaman hingga melintasi Jalan Gajah Mada, Jalan Sultan Agung, Jalan Harjono, Jalan Purwanggan, dan Jalan Harjowinatan.

Tata cara Lampah Ratri mirip dengan Mubeng Beteng, peserta tidak diperbolehkan berbicara dan harus menjaga keheningan sepanjang perjalanan.

Ritual ini memperkuat makna malam Suro sebagai momentum menenangkan diri, mengoreksi langkah, dan menyucikan batin.

Tradisi malam Satu Suro di Yogyakarta bukan hanya pelestarian budaya, tapi juga media kontemplasi diri yang menyatukan sejarah, spiritualitas dan kearifan lokal dalam satu momen penuh makna.

Bagi masyarakat dan wisatawan, mengikuti rangkaian prosesi ini tak hanya menjadi pengalaman budaya tapi juga pengalaman batin yang mengesankan.

Editor: Shadinta Aulia Sanjaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *