LINGKARWILIS.COM – Kematian tragis yang menimpa Juliana Marins (27), pendaki Gunung Rinjani asal Brasil terus menyita perhatian publik.
Banyak sekali perdebatan dari netizen Indonesia dan Brasil dibalik proses evakuasi Julian Marins yang dilakukan Tim SAR sejak Sabtu lalu hingga saat ini.
Gunung Rinjani yang berlokasi di Lombok, Nusa Tenggara Barat terkenal dengan gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia dan memiliki zona pendakian yang tidak mudah.
Beberapa fakta menunjukkan bahwa proses evakuasi Juliana Marins diwarnai dengan berbagai tantangan serta keputusan yang menimbulkan pertanyaan.
Berikut lima fakta penting di balik insiden kematian Julian yang terjadi di jalur pendakian Sembalun, tepatnya di titik Cemara Nunggal.
Fakta Dibalik Kematian Juliana Marians di Gunung Rinjani
1 Juliana Ditinggal Sendirian oleh Pemandu
Juliana memulai pendakian bersama enam rekannya dan seorang pemandu lokal pada Sabtu (21/6/2025) dini hari melalui jalur Sembalun.
Ketika berada di titik Cemara Nunggal, Juliana dilaporkan mengalami kelelahan.
Pemandu menyarankannya untuk beristirahat di tempat itu, sementara ia melanjutkan perjalanan ke puncak bersama lima pendaki lainnya.
Ketika Juliana tak kunjung menyusul, pemandu kembali ke titik istirahat tetapi sudah tidak menemukan keberadaannya.
2. Juliana Masih Hidup Saat Pertama Kali Ditemukan
Juliana pertama kali diperkirakan jatuh dari ketinggian 150–200 meter.
Pada Sabtu pagi, 21 Juni suara teriakan korban masih terdengar, menunjukkan bahwa ia masih hidup meski mengalami syok berat.
Kondisinya yang tergantung di lereng curam menjadi tantangan utama tim penyelamat.
Namun, seiring berjalannya waktu dan cuaca yang terus berubah, posisi korban semakin sulit dijangkau.
3. Tubuh Juliana Makin Terperosok Saat Pencarian Berlangsung
Awalnya Juliana ditemukan terjatuh di ketinggian hingga 200 meter tetapi di hari selanjutnya dirinya makin terperosok ke bawah.
Saat pencarian pukul 20.00 waktu setempat, tim turun hingga 300 meter tetapi tidak menemukan Julianan ataupun sahutannya.
Kemudian pencarian kembali dilakukan pada Minggu (22/6), tim SAR melakukan penyambungan tali untuk mencari keberadaan Juliana.
Pada Senin (23/6), drone thermal berhasil mendeteksi Juliana tersangkut di tebing pada kedalaman sekitar 500 meter. Saat itu, tubuhnya sudah tidak menunjukkan gerakan.
Korban berhasil didekati pada Selasa (24/6) pukul 18.00 WITA, Juliana ditemukan di kedalaman 600 meter
4. Evakuasi Dihambat Kabut dan Medan Ekstrem
Tim penyelamat menghadapi kondisi sangat berat di lapangan. Kabut tebal membatasi jarak pandang, medan terjal dan licin menghambat pergerakan, serta banyaknya overhang di tebing membuat pemasangan anchor tidak memungkinkan.
Salah satu anggota tim bahkan harus bermalam di lereng (flying camp) demi mengamankan posisi dan melanjutkan evakuasi keesokan harinya.
5. Pencarian Berlangsung Selama Tiga Hari
Tim SAR gabungan mulai bergerak sejak pagi Sabtu (21/6) dan baru berhasil memantau posisi pasti Juliana pada Senin (23/6).
Meski berbagai skema diterapkan, termasuk penyambungan tali dan penggunaan drone thermal, evakuasi terus terkendala.
Dalam rapat evaluasi bersama Gubernur NTB, opsi penggunaan helikopter sempat diajukan tetapi medan yang sempit dan cuaca yang cepat berubah membuat opsi itu sulit diterapkan secara aman.
Kematian Juliana menimbulkan simpati luas, termasuk dari warga Brasil yang mengkritik lambatnya penanganan evakuasi oleh pihak Indonesia.
Sementara tim SAR dan relawan di lapangan menyatakan bahwa seluruh prosedur telah dijalankan sesuai protokol penyelamatan di medan ekstrem.
Tragedi ini menjadi pengingat bahwa pendakian di gunung bukan hanya soal fisik dan semangat, tapi juga menyangkut keselamatan, komunikasi, dan tanggung jawab kolektif antara pemandu, tim penyelamat, dan seluruh pihak terkait.
Editor: Shadinta Aulia Sanjaya